
Jangan tanya ada atau tidak uang belanja, atau sembako di dalam lemari. Nasi goreng kecap mentega menjadi favorit ketika keluarga ini sedang tak ada makanan.
Tak heran,
dalam Agus
Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik, ketua delegasi
Belanda dalam perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn bilang,” Ia hanya
mempunyai satu kelemahan : selama hidupnya melarat!”
Frasa
selama hidupnya melarat ini artinya sangat jelas. Sebelum, saat, hingga pasca
menjabat sebagai Menteri, atau jabatan lainnya, ia tetap melarat, dan tetap
mengontrak rumah hingga akhir hayatnya.
Bisa
dibayangkan kini, ada seorang menteri yang tidak punya rumah? Anggota Dewan
yang kekurangan bahan makanan? Seorang yang menolak menjadi ketua partai besar
? Seorang diplomat kelas dunia yang tidak bisa bayar listrik?
Kisah
kesederhanaan – atau kemelaratan – ini tak hanya dirasakan Haji Agus Salim.
Perumus Pancasila lainnya, Mohammad Hata pun mengalami masa-masa senja yang tak
jauh berbeda.
Ramadhan
KH dalam Bang
Ali, Demi Jakarta 1966 – 1967 mengisahkan bagaimana Ali
Sadikin, gubernur legendaris Jakarta ini terenyuh melihat kondisi Bung Hatta
yang tak mampu membayar iuran air hingga pajak.
“Begitu
sederhananya hidup pemimpin kita pada waktu itu,” kata Bang Ali terharu.
Bahkan, hingga akhir hayatnya, keinginan bung Hatta untuk membeli sepatu bally
tak juga terpenuhi.
Wakil
Presiden Indonesia pertama ini menabung, sampai-sampai beliau menyimpan
guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Namun apadaya, tabungan beliau
tak cukup karena kebutuhan rumah tangganya. Sepatu bally tinggallah kenangan.
Perumus
Pancasila lainnya, KH Wahid Hasyim merupakan sosok yang sangat bersahaja. Saat
orang-orang bertanya ketika dirinya tak lagi menjabat sebagai menteri, ia
menjawab:
“Tak usah
kecewa! Saya toh bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku
panjang, tinggal pilih saja,” katanya mengundang gelak tawa orang –orang di
sekitarnya. (Saifudin Zuhri : 2013).
Di saat
masyarakat hidup sulit, katanya, tak elok jika para pemimpinnya hidup dengan
mewah dan bersenang-senang. Karenanya, ia turut merasakan kesulitan serupa.
Suatu kebiasaannya adalah berpuasa sunnah, bahkan dalam kondisi sesibuk apapun
di mana pun.
Saifudin
Zuhri mencatat, saat mereka menginap di suatu hotel, ia lupa menyiapkan sahur.
Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan
segelas teh bagian Saifuddin Zuhri ketika sore.
“Dengan sebutir
telur dan segelas teh itulah KH Wahid Hasyim bersahur,” kenang Saifudin Zuhri
dalam Berangkat
dari Pesantren. Sambil menyelesaikan sebutir telur yang
satu-satunya untuk sahur itu KH Wahid Hasyim mengingatkan agar jangan sampai
hidup menampakkan kemewahan di saat kondisi masyarakat sedang sulit.
”Kita
berlapar-lapar supaya tidak melupakan nasib kaum lapar,”pesannya.
Tokoh
perumus Pancasila lainnya, Prof. KH Abdul Kahar Muzakkir, tokoh Muhammadiyah
yang pernah juga menjadi anggota Dewan Konstituante bahkan hingga pengujung
senjanya, masih tinggal di rumah warisan ayahnya, Haji Muzakkir.
Mitsuo
Nakamura mencatat bahwa kendaraan Abdul Kahar Muzakkir hanyalah sebuah skuter
bekas pemberian mahasiswanya, yang sering kali mogok. Sebagai alternatif, ia
kadang menggenjot sepeda, naik becak atau andong menempuh perjalanan sepanjang
lima atau enam kilometer dari rumahnya mengajar di UII atau ke kantor PB
Muhammadiyah di Yogyakarta. (Mitsuo Nakamura: 1996).
Ironi
memang, tapi itulah mereka, para pendiri bangsa ini. Pantas saja, Ketua Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) – DPR kini – pertama, Kasman Singodimedjo
melihat kondisi gurunya, Haji Agus Salim, dengan lirih berkata, “Leiden
is lijden,” memimpin itu menderita!
Memang,
mereka bukanlah Pembina, pengarah, atau apapun jabatan yang melekat terkait
dasar negara ini. Namun mereka menyusun pondasi bangsa ini dengan penuh
ketulusan, mungkin tanpa berpikir-pikir apakah anggaran sekian bisakah kami
membina masyarakat?
Mereka
membina nilai-nilai kebangsaan dengan keteladanan. Mungkin saja, balasan materi
yang diterima saat itu minim, atau bahkan harus merogoh kocek pribadi, “Leiden
is lijden,” memimpin itu menderita!
Mereka
yang memilih jalan becek dan sunyi, berjalan kaki dengan tongkatnya dibanding
gemerlap karpet merah dan mobil –mobil dan rumah mewah, gemerlap jantung kota
lainnya.
Kemiskinan
tak membuat mereka berhenti berbuat. Kesungguhan mengalahkan keber-ada-an, dan
sejarah telah mencatatnya.
Kita tentu
rindu sosok seperti mereka, bukan tentang melaratnya mereka, tapi tentang ruang
kesederhanaan, kepekaan nurani, yang masa kini mungkin semakin sulit kita
ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar