Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW merupakan teladan bagi umat manusia yang mampu menunjukkan kepada kita tentang kebenaran, keadilan, tolernasi, melalui ajaran-ajarannya.

Hari Santri Nasional

Hari Santri Nasional 22 Oktober 2022. Dari sudut satu dimensi kami menggambarkan bahwasanya hari ini adalah hari untuk sebuah bangsa. Kami santri kami siap mengorbankan apapun untuk tanah air tumpah darah Indonesia

Hari Sumpah Pemuda & Aksara

Sumpah Pemuda adalah bukti Indonesia negara yang kuat dengan generasi muda yang penuh semangat. Tetaplah bersatu wahai pemuda pemudi, mari bangun Indonesia menjadi lebih baik. Selamat Memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-94 Tahun

Kegiatan LDKMS Malang 2022

Banyak orang gagal karena mereka tak menyadari kalau langkah mereka telah mendekati kesuksesan sedikit lagi. Tapi mereka memutuskan untuk berhenti dan menyerah

Hari Pahlawan

Pahlawanku Teladanku” yang bermakna teladan dari para Pahlawan Bangsa yang telah merasuk sukma, kiranya menjadi semangat di peringatan Hari Pahlawan tahun ini 2022

Senin, 31 Agustus 2020

Hidup Melarat ala Perumus Pancasila


“Rumah kampung dengan meja kursi sangat sederhana,” tambah muridnya yang juga diplomat, Mohammad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah, mengenang. Pernah pula, kasur gulung, ruang makan, dapur, dan ruang tamu kontrakan Haji Agus Salim bersatu dalam satu ruangan besar.

Jangan tanya ada atau tidak uang belanja, atau sembako di dalam lemari. Nasi goreng kecap mentega menjadi favorit ketika keluarga ini sedang tak ada makanan.

Tak heran, dalam Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik, ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn bilang,” Ia hanya mempunyai satu kelemahan : selama hidupnya melarat!”

Frasa selama hidupnya melarat ini artinya sangat jelas. Sebelum, saat, hingga pasca menjabat sebagai Menteri, atau jabatan lainnya, ia tetap melarat, dan tetap mengontrak rumah hingga akhir hayatnya.

Bisa dibayangkan kini, ada seorang menteri yang tidak punya rumah? Anggota Dewan yang kekurangan bahan makanan? Seorang yang menolak menjadi ketua partai besar ? Seorang diplomat kelas dunia yang tidak bisa bayar listrik?

Kisah kesederhanaan – atau kemelaratan – ini tak hanya dirasakan Haji Agus Salim. Perumus Pancasila lainnya, Mohammad Hata pun mengalami masa-masa senja yang tak jauh berbeda.

Ramadhan KH dalam Bang Ali, Demi Jakarta 1966 – 1967 mengisahkan bagaimana Ali Sadikin, gubernur legendaris Jakarta ini terenyuh melihat kondisi Bung Hatta yang tak mampu membayar iuran air hingga pajak.

“Begitu sederhananya hidup pemimpin kita pada waktu itu,” kata Bang Ali terharu. Bahkan, hingga akhir hayatnya, keinginan bung Hatta untuk membeli sepatu bally tak juga terpenuhi.

Wakil Presiden Indonesia pertama ini menabung, sampai-sampai beliau menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Namun apadaya, tabungan beliau tak cukup karena kebutuhan rumah tangganya. Sepatu bally tinggallah kenangan.

Perumus Pancasila lainnya, KH Wahid Hasyim merupakan sosok yang sangat bersahaja. Saat orang-orang bertanya ketika dirinya tak lagi menjabat sebagai menteri, ia menjawab:

“Tak usah kecewa! Saya toh bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang, tinggal pilih saja,” katanya mengundang gelak tawa orang –orang di sekitarnya. (Saifudin Zuhri : 2013).

Di saat masyarakat hidup sulit, katanya, tak elok jika para pemimpinnya hidup dengan mewah dan bersenang-senang. Karenanya, ia turut merasakan kesulitan serupa. Suatu kebiasaannya adalah berpuasa sunnah, bahkan dalam kondisi sesibuk apapun di mana pun.

Saifudin Zuhri mencatat, saat mereka menginap di suatu hotel, ia lupa menyiapkan sahur. Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas teh bagian Saifuddin Zuhri ketika sore.

“Dengan sebutir telur dan segelas teh itulah KH Wahid Hasyim bersahur,” kenang Saifudin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren. Sambil menyelesaikan sebutir telur yang satu-satunya untuk sahur itu KH Wahid Hasyim mengingatkan agar jangan sampai hidup menampakkan kemewahan di saat kondisi masyarakat sedang sulit.

”Kita berlapar-lapar supaya tidak melupakan nasib kaum lapar,”pesannya.

Tokoh perumus Pancasila lainnya, Prof. KH Abdul Kahar Muzakkir, tokoh Muhammadiyah yang pernah juga menjadi anggota Dewan Konstituante bahkan hingga pengujung senjanya, masih tinggal di rumah warisan ayahnya, Haji Muzakkir.

Mitsuo Nakamura mencatat bahwa kendaraan Abdul Kahar Muzakkir hanyalah sebuah skuter bekas pemberian mahasiswanya, yang sering kali mogok. Sebagai alternatif, ia kadang menggenjot sepeda, naik becak atau andong menempuh perjalanan sepanjang lima atau enam kilometer dari rumahnya mengajar di UII atau ke kantor PB Muhammadiyah di Yogyakarta. (Mitsuo Nakamura: 1996).

Ironi memang, tapi itulah mereka, para pendiri bangsa ini. Pantas saja, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) – DPR kini – pertama, Kasman Singodimedjo melihat kondisi gurunya, Haji Agus Salim, dengan lirih berkata, “Leiden is lijden,” memimpin itu menderita!

Memang, mereka bukanlah Pembina, pengarah, atau apapun jabatan yang melekat terkait dasar negara ini. Namun mereka menyusun pondasi bangsa ini dengan penuh ketulusan, mungkin tanpa berpikir-pikir apakah anggaran sekian bisakah kami membina masyarakat?

Mereka membina nilai-nilai kebangsaan dengan keteladanan. Mungkin saja, balasan materi yang diterima saat itu minim, atau bahkan harus merogoh kocek pribadi, “Leiden is lijden,” memimpin itu menderita!

Mereka yang memilih jalan becek dan sunyi, berjalan kaki dengan tongkatnya dibanding gemerlap karpet merah dan mobil –mobil dan rumah mewah, gemerlap jantung kota lainnya.

Kemiskinan tak membuat mereka berhenti berbuat. Kesungguhan mengalahkan keber-ada-an, dan sejarah telah mencatatnya.

Kita tentu rindu sosok seperti mereka, bukan tentang melaratnya mereka, tapi tentang ruang kesederhanaan, kepekaan nurani, yang masa kini mungkin semakin sulit kita ditemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar